Pendahuluan
Keluarga adalah sumber utama kesejahteraan dalam masyarakat kita, khususnya di wilayah Indonesia dimana perlindungan sosialnya kurang berkembang. Mereka berkontribusi terhadap populasi kesejahteraan dengan mentransfer sumber daya material (yaitu modal manusia dan sosial) dan dukungan emosional, namun hal ini juga berkontribusi terhadap reproduksi kesenjangan sosial tingkat yang berbeda. Misalnya, pilihan bermitra sangat terkait dengan tingkat pendidikan dan status sosial individu, dan hal ini mempunyai dampak tingkat kedua peluang hidup anak-anak. keluarga miskin memiliki peluang lebih tinggi untuk mempunyai anak rendahnya aspirasi pendidikan dan kinerja pendidikan.
Kehidupan keluarga perempuan dan laki-laki telah berubah dalam banyak hal dalam beberapa dekade terakhir. Di sebagian besar negara, terjadi suatu permasalahan seperti, tingkat kesuburan menurun, jumlah perceraian meningkat, dan proporsi anak yang lahir di luar nikah meningkat. Pola-pola terkini ini terkait erat dengan perubahan tatanan gender. Perempuan semakin berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja dan pendidikan tinggi, seiring dengan semakin meluasnya harapan akan kesempatan yang setara. Namun, meskipun terdapat peningkatan nyata dalam tingkat pekerjaan dan tingkat pendidikan perempuan, kesenjangan gender masih terus terjadi, tidak terkecuali dalam bidang hukum, kebijakan, pasar tenaga kerja, dan peran keluarga [1].
Pada saat yang sama, kita telah melihat beberapa perubahan signifikan di negara dan institusi, salah satunya sebagai respons terhadap ‘semangat’ neoliberal baru kapitalisme. Kediktatoran yang bercirikan perencanaan ekonomi terpusat telah beralih ke persaingan kewirausahaan, privatisasi, dan retorika demokrasi. Negara kesejahteraan telah menurun karena kekuatan pasar telah mengambil alih, sehingga membatasi akses terhadap barang publik. Negara-negara demokrasi liberal mengalami peningkatan populisme otoriter, yang didorong oleh respons kebencian terhadap perubahan struktural besar dalam perekonomian dan masyarakat. Dampak global serangan imperialis Rusia terhadap Ukraina masih belum dapat ditentukan [2].
Berdasarkan kenyataan di atas, ‘Semangat baru’ kapitalisme telah berkontribusi terhadap terkikisnya perlindungan sosial, tidak terkecuali bagi mereka yang terlibat dalam pekerjaan perawatan keluarga, yang seringkali adalah perempuan. Negara-negara di seluruh dunia telah beralih ke model ‘pekerja dewasa’ yang tidak berbasis gender dalam kebijakan keluarga, dan perawatan kesehatan telah menjadi fokus marketisasi. Dalam praktiknya, ‘rumah tangga dengan satu setengah orang berpenghasilan’ mendekati norma di negara-negara Eropa Barat, karena pengasuhan anak dan pengasuhan informal masih sangat bersifat gender. Salah satu konsekuensinya adalah perlindungan sosial semakin erat kaitannya dengan partisipasi individu dalam pasar tenaga kerja, yang berdampak buruk terhadap perawatan keluarga [3].
Dalam hal hubungan di dalam masyarakat, terutama mengenai perempuan dalam dunia kerja, bukti empiris cenderung mengarah pada pembagian kerja berdasarkan gender yang melintasi dan menghubungkan pekerjaan berbayar dan tidak berbayar. Pembagian pekerjaan tidak berbayar (ibu rumah tangga), yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki menimbulkan tantangan bagi negara dan masyarakat di seluruh dunia. Meskipun partisipasi perempuan dalam pekerjaan berbayar telah meningkat secara signifikan, keterlibatan laki-laki dalam pekerjaan tidak berbayar belum meningkat secara signifikan. Laporan OECD tentang kesetaraan gender menyoroti pentingnya menghargai layanan, dan terutama keterlibatan laki-laki dalam pengasuhan, sebagai kebijakan utama untuk membalikkan pola yang sudah lama ada ini [4].
Pembahasan
Dalam konteks kehidupan berkeluarga, perempuan rata-rata melakukan pekerjaan tidak berbayar sebagai ibu rumah tangga dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Peran sebagai ibu tetap merupakan peran sosial yang sangat dimoralisasikan sehingga mengasuh anak terus mempunyai konsekuensi yang berbeda terhadap status sosial dan pengalaman emosional perempuan dan laki-laki. Di negara-negara Asia seperti Tiongkok dan Jepang, waktu yang dihabiskan perempuan untuk pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sangatlah tinggi [5].
Perempuan terus memberikan layanan multigenerasi yang lebih informal dibandingkan laki-laki. Perawatan keluarga yang diberikan oleh perempuan sering kali lebih intensif dibandingkan dengan yang diberikan oleh laki-laki, dan hal ini terjadi pada saat-saat penting ketika dampaknya terhadap perjalanan hidup perempuan semakin besar. Pandemi COVID-19 telah menyoroti rendahnya nilai perawatan keluarga sebagai dukungan penting bagi kehidupan yang rentan. Hal ini juga memperparah kesenjangan gender dalam pengasuhan, pekerjaan, pendapatan, dan perlindungan sosial [6].
Di pasar tenaga kerja, stratifikasi berbasis gender masih terlihat jelas. Perempuan terus mendapat penghasilan lebih rendah dibandingkan laki-laki; lebih besar kemungkinannya untuk bekerja paruh waktu di sektor-sektor yang upahnya lebih rendah; dan kecil kemungkinannya untuk dipekerjakan pada tingkat manajerial dan eksekutif. Rata-rata kesenjangan upah berdasarkan gender di negara-negara OECD adalah 12,5 persen. Di negara-negara Asia, angkanya jauh lebih tinggi dibandingkan di negara-negara Utara. Rata-rata, 24,5 persen pekerja perempuan bekerja paruh waktu, berbeda dengan hanya 9 persen pekerja laki-laki. Ketimpangan ini semakin diperparah oleh COVID-19, yang mencerminkan akses gender terhadap pekerjaan dan kesejahteraan [7].
Meskipun pola peraturan dan ekspektasi sosial di bidang pekerjaan dan keluarga berbeda-beda di seluruh dunia, analisis gender mengenai proses yang mendasarinya masih kurang, khususnya di wilayah Asia. Selain itu, meskipun terdapat perkembangan kebijakan yang signifikan di bidang pekerjaan dan keluarga, efektivitas perubahan ini masih diragukan. Misalnya, meskipun keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak telah dipromosikan di banyak negara Barat (misalnya kuota ‘ayah’ di Swedia dan cuti bersama sebagai orang tua di Inggris), gaji selama cuti ayah dan cuti sebagai orang tua dari pekerjaan cenderung tetap rendah secara global [8].
Kebijakan keluarga memainkan peran penting dalam memperbaiki ketidaksetaraan gender, dengan potensi mengubah kepentingan, keyakinan, dan norma individu, masyarakat, dan negara secara umum. Pada saat yang sama, kebijakan sering kali melanggengkan ketidaksetaraan gender, salah satunya melalui asumsi implisit mengenai pengaturan pengasuhan anak yang ‘alami’. Seperti yang dikemukakan oleh Gangl dan Ziefel, rancangan kebijakan egaliter, yang mencakup misalnya pengenalan atau perpanjangan cuti hamil, cuti orang tua yang tidak spesifik gender, atau cuti yang diperuntukkan bagi ayah, dapat memengaruhi norma-norma masyarakat. Intervensi tersebut dapat mengubah ekspektasi mengenai peran dan praktik pengasuh, misalnya dengan memberikan insentif atau pilihan untuk mendapatkan penghasilan dan perawatan bersama. Jenis kebijakan yang lebih tradisionalis dalam konteks ini, termasuk cuti orang tua yang tidak dibayar atau dibayar rendah, cuti hamil yang panjang, dan kurangnya dukungan negara untuk pengasuhan anak, memperkuat dan memperparah kesenjangan. Kebijakan yang mendorong pembagian kerja yang dibayar dan tidak dibayar secara setara dan memberikan pilihan yang tulus bagi perempuan dan laki-laki sangatlah penting [9].
Ibu yang bekerja dapat mengalami kesulitan ketika perlindungan sosial untuk perawatan keluarga terbatas atau tidak ada. Karir sering kali gagal berkembang, dan penelitian di Amerika menunjukkan bahwa ibu yang sukses secara profesional cenderung dianggap sebagai ibu yang disukai namun tidak kompeten di tempat kerja, atau kompeten secara profesional namun tidak disukai [10]. Hal ini kontras dengan imbalan yang diperoleh ayah dalam kehidupan profesional, karena peran sebagai ayah dipahami untuk meningkatkan kehangatan tanpa mengorbankan kompetensi profesional. Diskriminasi normatif berbasis gender ini mempunyai konsekuensi signifikan terhadap gaji dan promosi. Para ibu terus menanggung beban mengkoordinasikan perawatan sehari-hari dan pekerjaan rumah tangga dalam mengatur kehidupan anak-anak mereka, sembari berpartisipasi dalam budaya kerja berjam-jam. Sering kali perempuan, tetap menjadi ciri utama perjuangan untuk mengkoordinasikan pekerjaan dan kehidupan keluarga.
Kesimpulan
Ketidaksetaraan gender masih terus terjadi seiring dengan meningkatnya marketisasi dalam dunia kerja, seiring dengan pergeseran kebijakan ke arah ‘parentalisme’ yang netral gender. Meskipun peran sebagai ayah telah menjadi fokus kepentingan dan kontestasi politik, tekanan untuk melakukan perubahan dapat diredakan dengan kebijakan yang ramah pasar. Kebijakan-kebijakan yang bersifat matrealistis tidak dapat mengubah ketidaksetaraan gender dalam keluarga, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian di berbagai negara.
Pandangan mengenai cara mencapai kesetaraan gender di dalam dan di antara keluarga serta hubungan sosial yang lebih luas berbeda-beda. Hubungan antara kebijakan keluarga dan lanskap budaya tidak dapat diabaikan jika ingin mencapai distribusi perawatan dan pekerjaan rumah tangga yang lebih merata, dengan cara yang didukung penuh oleh negara. Teori ‘pengaturan gender’ dari Pfau-Effinger menyoroti interaksi konteks budaya, kelembagaan, sosial, dan ekonomi dalam kaitannya dengan keputusan dan pola ketenagakerjaan perempuan dalam pembagian kerja di masyarakat. Pendekatan seperti ini juga perlu mengatasi ‘hubungan imperial ekstraksi’ yang membentuk tatanan kesejahteraan kontemporer dan komodifikasi layanan kesehatan global.
BACA JUGA : Buku Bidayatul Mujtahid – Ibn Rusyd
DAFTAR PUSTAKA
Bedford, K., & Rai, S. “Feminists Theorize International Political Economy.” Signs 36, no. 1 (2010): 1–18.
Blofield, M., Filgueira, F., Giambruno, C., & Franzoni, J. M. “Beyond States and Markets: Families and Family Regimes in Latin America.” Latin American Social Policy Developments in the Twenty-First Century, 2021, 255–85.
Cohen, J. L. “Populism and the Politics of Resentment.” Jus Cogens 1, no. 1 (2019): 5–39.
Gangl, M., & Ziefel, A. “He Making of a Good Woman: Extended Parental Leave Entitlements and Mothers’ Work Commitment in Germany’.” American Journal of Sociology 212, no. 2 (2015): 511–63.
International Labour Organisation. “A Gender-Responsive Employment Recovery: Building Back Fairer.” www.ilo.org, 2021. https://www.ilo.org/emppolicy/pubs/WCMS_751785/lang–en/index.htm.
Ramadhan, Iqbal. “Mengkaji Peran UN Women Dalam Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Mewujudkan Kesetaraan Gender Melalui Perspektif Feminisme.” Jurnal Asia Pacific Studies 2, no. 2 (2018): 1–8.
[1] S Bedford, K., & Rai, “Feminists Theorize International Political Economy,” Signs 36, no. 1 (2010): 1–18.
[2] J. M. Blofield, M., Filgueira, F., Giambruno, C., & Franzoni, “Beyond States and Markets: Families and Family Regimes in Latin America,” Latin American Social Policy Developments in the Twenty-First Century, 2021, 255–85.
[3] Ibid.
[4] J. L. Cohen, “Populism and the Politics of Resentment,” Jus Cogens 1, no. 1 (2019): 5–39.
[5] Iqbal Ramadhan, “Mengkaji Peran UN Women Dalam Mengatasi Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Mewujudkan Kesetaraan Gender Melalui Perspektif Feminisme,” Jurnal Asia Pacific Studies 2, no. 2 (2018): 1–8.
[6] International Labour Organisation, “A Gender-Responsive Employment Recovery: Building Back Fairer.,” www.ilo.org, 2021, https://www.ilo.org/emppolicy/pubs/WCMS_751785/lang–en/index.htm.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] A. Gangl, M., & Ziefel, “He Making of a Good Woman: Extended Parental Leave Entitlements and Mothers’ Work Commitment in Germany’,” American Journal of Sociology 212, no. 2 (2015): 511–63.
[10] Ibid.